KESUKSESAN UNTUK BERSAMA

MARI BERBAGI SUKSES UNTUK KESUKSESAN KITA
Kalo Dah Mampir, Maka Wajib di Baca dan kalo dah diBaca Maka Wajib di tulis KOmeNtAR

Thursday, March 12, 2009

Menikah ala Kabinet Parlementer atau Presidensial???

“Apa hubungannya menikah dengan bentuk pemerintahan?” Tanya temen saya begitu membaca tulisan saya ini.

Saya tiba-tiba “kebelet” pengen menggerakkan jari jemari di atas keyboard laptop ini tak lain dan tak bukan setelah membaca buku Pak Husein Matla yang judulnya “Demokrasi Tersandera”….( tuuu kan Sa, piye too, apa hubungannya itu buku ma pernikahan)… tenang dulu sodara-sodara. Ada beberapa satu dua baris paragraph yang saya jadikan “pegangan” buat jadiin niy tulisan. Hehehe… yahhh. Sengaja di sambung-sambungin antar menikah en sistem perpolitisan. ( Mank nyambung???? Penilaian terakhir ada di tangan antum semua aja dahhh…pissss) J


Saya hanya mengkritisi saja bagaimana kalo di liat zaman sekarang begitu banyaknya buku-buku di luar sana yang beredar atau bahasa kerennya buku motivasi hidup yang temanya seputar itu-itu saja. Kalo saya bisa simpulkan, pasti yang di bahas seputar : orientasi kesusksesan duniawi.

Saya pernah beli beberapa buku tentang hal itu di antaranya Stephen R. Covey yang judulnya 8 Habits untuk mendisiplinkan individu meraih kesukesan duniawi. Dan buku best seller ampe sekarang, Rich Dad Poor Dad karya Robert T.Kiyosaki tentang kedisplinan diri dan kelincahan dalam menyikapi uang. ( lha…iki mau promosi buku too).==capcay dee==

“jangan kamu bekerja untuk uang. Jadikanlah uang yang bekerja untukmu.” Begitulah semboyannya yang terkenal dan biasa di jadikan “kalimat sakti” dalam training-training motivator tentang kesukesan finansial.

Saya tidak akan menyalahkan siapapun dalam hal ini. Tentu saja Rasulullah pun memerintahkan umatnya untuk menghindari kefakiran dan kemiskinan, karena mendekati kepada kekafiran. Tapi jangan lupa bagaimanapun kita tidak boleh menjadikan orientasi kesuksesan duniawi sebagai ukuran dan tujuan hidup.

Hati-hatilah wahai saudaraku, Rasulullah pernah mengingatkan hal ini, adapun beliau pernah bersabda: ” Kelak umat-umat lain akan mengerumuni kalian seperti orang-orang yang lapar mengerumuni hidangan mereka. Kemudian salah seorang sahabat bertanya: adakah karena pada waktu itu jumlah kita sedikit, wahai Rasulullah?… Nabi saw menjawab: Tidak, pada waktu itu jumlah kalian banyak, namun kalian adalah seperti buih di lautan. Allah akan menghilangkan perasaan takut dari hati musuh kalian dan Allah akan menumbuhkan ‘Wahn’ dalam hati kalian. Kemudian salah seorang sahabat bertanya: Apa itu Wahn wahai Rasulullah??? Nabi saw menjawab : Cinta dunia dan takut mati. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Nah, sayang sekali jika pandangan seperti inipun di jadikan sebagai dasar dalam suatu ikatan suci dalam menuju, memproses, bahkan membina suatu biduk rumah tangga bernama pernikahan. Pernah seorang Ustadz mengatakan begitulah orientasi orang sekarang pada umumnya. Orang yang mau menikah biasanya harus siap di tanya, “Anda kerja di mana?” atau “Berapa kira-kira ‘pegangan’ anda tiap bulannya?”. Si Ustadz tadi membandingkannya dengan pertanyaan orang dulu,” Berapa juz yang sudah anda hapal?” atau “Tolong jelaskan cara baca ayat ini!” .

Orientasi ini di tambah dengan suasana kehidupan ekonomi sekarang. Berbeda dengan dengan kebiasaan orang zaman dahulu yang biasa saling memberi dan menerima. Kebiasaan memikul tanggung jawab sendirian dan orientasi akan kesuksesan yang sangat kuat membuat bidang ekonomi benar-benar menjadi poros kehidupan kalau tidak mau di katakan sebagai tujuan hidup. Ketika orang zaman sekarang menyebut kata “sukses” umumnya adalah tafsiran kondisi ekonomi, bukan yang lain.

Berbagai hal itulah yang membuat saya jadi lebih memahami pernikahan di Negara-negara barat yang terasa sebagai pernikahan perlementer dan mengapa pernikahan orang Asia dan Barat seringkali kurang menemukan kecocokan.

Dari cerita yang saya tahu tentang kesan-kesan wanita Barat terhadap lelaki Asia adalah “lebih penyayang tapi lebih pengatur”. Sedangkan kesan wanita Asia terhadap lelaki Barat adalah “lebih memberikan kebebasan tapi kurang bertanggung jawab”. Tampaknya itulah yang sering menyebabkan ketidakcocokan.

Sebenarnya cerita itu wajar sekali. Di Barat, Pada umumnya yang notabene lebih berorientasi duniawi, ukuran martabat tergantung pada “kesuksesan” sehingga wanita menuntut hak untuk bekerja. Mereka juga ingin sukses. Ini menciptakan persamaan gender, dimana ada nuansa pria dan wanita “setara”. Hak dan kewajiban mereka sama. Dalam rumah tangga, keduanya sama-sama mencari penghasilan. Tak ada pembagian peran dalam masyarakat. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanyalah bahwa satunya berjenis kelamin laki-laki dan satunya berjenis kelamin perempuan. Itu aja deh. Sementara di Asia, masih banyak agama dan budaya khususnya karena di dominasi oleh Islam, yang menekankan bahwa peran utama laki-laki adalah bekerja mencari nafkah untuk istri dan keluarganya, sementara peran utama wanita menjadi ibu rumah tangga. Di pimpin suami buka berarti “dikuasai”, tapi “disayangi” atau “ditanggungjawabi”.

Karena hal itu sodara-sodara, ketika wanita Barat menikah dengan orang Asia, umumnya niy…umumnya….mungkin awalnya senang dengan sikap suaminya yang bertanggungjawab. Tapi akhirnya tak suka saat sang suami memintanya membikinkan teh panas atau mie goreng. Sebaliknya, wanita Asia awalnya senang lelaki Barat memberi kebebasan, tapi kemudian kesal karena suami mereka hanya merasa bertanggung jawab atas setengah penghasilan.

Dari perbedaan budaya dan latar belakang aqidah atau ideology yang mendasarinya, kita semua bisa mengetahui bahwa nuansa pernikahan di Barat adalah bentuk “persekutuan”. Suami istri adalah dua pihak yang punya hak dan kewajiban sama dan harus setara posisinya dalam rumah tangga. Sementara kalo kita lihat pernikahan di Asia adalah “kepemimpinan”. Rumah tangga adalah upaya pencapaian harapan secara bersama yang di pimpin suami. Pengambilan keputusan kedua kultur itu tentu saja berbeda. Satunya lebih menyerupai kabinet parlementer, satunya lagi menyerupai kabinet presidensial.

Tapi dari perbedaan itulah juga bisa di amati mengapa perkawinan di Asia yang berlandaskan ideology Islam jauh lebih tangguh. Sebagaimana layaknya kabinet presidensial, ikatan perkawinan di Asia cukup kuat karena pengambilan keputusan akhir adalah suami, walau memang sich lebih di utamakan musyawarah dulu. Sementara kalo ikatan perkawinan di Barat mudah bubar karena “mosi tidak percaya” dari istri, layaknya kabinet parlementer.

Belum lagi kalo keputusan harus voting, repotnya hasilnya 1:1. Kalo gak mau ada yang ngalah tentu harus ada “pemilu ulang”. Repotnya lagi, kalo “kabinet” bubar , istri akan memilih “perdana menteri lain”. Anak-anak tentunya harus siap dengan ayah barunya tersebut. Kayak gambaran pernikahan artis-artis di Indonesia yachh!!! Hehe… nuansa kehidupan metropolis yang sedikit norma dan etika tapi banyak ambisi semakin menambah sulitnya kerukunan dalm perkawian mereka.

Apalagi kalo di Negara Barat tuhh angka perceraiannya jauh lebih tinggi. Di Eropa banyak anak yang di asuh oleh orang tua tunggal. Di Italia, jumlah ortu tunggal lebih dari 30% dan di AS malah lebih dari 50%. Sedangkan kalo dalam Islam, pernikahan di atur sedemikian rupa dengan niat karena Allah semata. Untuk menggenapkan setengah agama. Pernikahan yang di lewati lewat proses ta’aruf dan khitbah, dan mungkin sekilas hampir sama seperti pernikahan ala ” kabinet presidensial”, namun peran istri di sini bukan sekedar penghias rumah tangga semata, melainkan sebagai teman berbagi, sahabat sejati bagi suami, yang siap sedia menjadi partner bagi suami dalam berjuang mengarungi arus kehidupan.

Perumpamaannya seperti biduk rumah tangga yang akan mengarungi lautan dunia, merajut bekal menuju kehidupan setelah maut. Nakhoda dalam hal ini suami gak bisa bekerja sempurna tanpa di dukung dan di bantu oleh awak yang sigap dalam hal ini seorang istri yang sholehah, cekatan dalam membantu sang nakhoda. Mengatur perbekalan agar cukup hingga tiba di pelabuhan, dan mencarinya kembali sebelum habis. Inilah sinergi yang manis dalam rumah tangga, biduk kecil di tengah samudra. Bagaimana nakhoda dapat berkonsentrasi menghindar menabrak karang, jika jiwanya tak tentram. Beban kecemasan tak terhiburkan, beban kebimbangan tak tertunjuki. Beginilah pentingnya seorang istri dalam mendampingi suami.

Fiuhhhh, berat ternyata tapi… Subhanallah, begitu mulia posisi seorang wanita, apalagi kalo udah jadi Istri dan Ibu bagi anak-anaknya, begitu mulia di hadapan Allah.

==Ya Allah, berilah aku petunjuk dalam memulai proses menuju kesana. Amin.==

No comments:

Post a Comment

Yang baik dan jujur aja ya